Permasalahan kemarin bukanlah akhir dari semua
masalah. Semua terus berlanjut hingga berlarut-larut. Bapak Yohan tidak pernah
puas dengan apa yang didapatkannya. Padahal sudah beberapa kali diingatkan.
Tapi sepertinya telinganya sudah ditulikan oleh dunia yang sementara ini. Bapak
Yohan terus menuntut-menuntut dan menuntut seperti anak kecil yang minta
dibelikan mainan.
Umi Nana memang sudah tua tapi umi
belum pikun. Umi masih tahu masalah seluk-beluk tanah ini dan beliaulah yang
masih pemilik sah dari tanah rebutan ini. Tanah dua hektar yang merupakan tanah
ulayat yang dibeli bapak umi untuk umi pada zaman dahulu. Hanya sedikit, tapi
cukup untuk mendirikan perumahan untuk kedua anaknya, Bu Sasa dan Bu Siti.
Bahkan masih bersisa untuk bercocok tanam.
Melihat kedua anak sudah berkeluarga,
Umi membagi tanah miliknya untuk anaknya. Pembagian pun dilakukan oleh Datuak
dan Mamak, keluarga Bu Sasa dan Bu Siti mendapatkan jatah tanah masing-masing
secara adil. Namun, masih ada sebuah lahan yang tidak dibagi oleh Mamak-mamak
dan Datuak, lahan itu akan digarap Umi. Meskipun sudah tua tapi Umi masih kuat
untuk bertani, menanam ubi jalar, sayur buncis, padi, jagung, ataupun yang
lainnya. Mungkin karena orang zaman dahulu yang sudah terbiasa bekerja keras.
Menurut Umi, dia akan sakit pinggang kalau tidak bekerja.
Umi Nana hidup bersama dengan Bu Siti,
putri keduanya. Umi kasihan melihat Bu Sasa yang janda karena ditinggal mati
oleh suaminya ketika anaknya baru berumur 6 tahun. Oleh karena itu Umi lebih
memilih tinggal dengan Bu Siti yang memiliki penghidupan layak. Penghasilan
suaminya sebagai buruh cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ditambah lagi
Bu Siti yang ikut berjualan untuk menambah penghasilan suami. Ketimbang harus
tinggal dengan Bu Sasa yang harus menghidupi anaknya yang masih kecil. Umi Nana
tidak ingin menyusahkan Bu Sasa.
Bila dibandingkan dengan Bu Sasa, Bu
Siti mungkin lebih beruntung bila dilihat dari nasib, Bu Siti masih mempunyai
suami dan mereka berdua bekerja mencari uang. Bisa dibilang kehidupan Bu Siti
lebih baik dari Bu Sasa. Namun meskipun Bu Sasa sudah tidak memiliki suami dan
harus menghidupi keluarga kecilnya sendiri, Bu Sasa dianugrahi wajah yang
menawan. Banyak yang terpikat dengan kecantikan yang dimilikinya meskipun dia
sudah bertitel janda beranak satu. Kecantikan itu pula yang membuat Pak Yohan
ingin meminang Bu Sasa. Seorang laki-laki tua beristri yang tidak memiliki
anak.
Bu Sasa bukan hanya cantik, tapi juga
baik dan ramah kepada siapapun. Begitu juga kepada Pak Yohan. Bu Sasa selalu
berbaik sangka kepada semua orang. Sejak kematian suaminya, Bu Sasa tidak
pernah lagi berniat untuk menikah lagi. Beliau bahagia dengan status jandanya.
Pak Yohan yang akhirnya merubah pemikiran Bu Sasa, seorang laki-laki yang
sepantasnya menjadi bapak dari bu Sasa melamar Bu Sasa. Pada awalnya Bu Sasa
menolak lamaran dari Pak Yohan. Pak Yohan dengan angkuhnya marah atas penolakan
Bu Sasa, dan ini yang membuat Pak Yohan bertindak lebih jauh. “Pakasiah” atau
disebut juga santet.
Suatu hari di petang jumat, Pak Yohan
datang mengunjungi Bu Sasa, beliau membawakan gulai ikan kesukaan Bu Sasa. Bu
Sasa tidak pernah berpikir kalau gulai ikan yang dibawa Pak Yohan sudah
disuguhi mantra-mantra yang akan membuat Bu Sasa tergila-gila dengan laki-laki
tua itu. Bu Sasa hanya berpikiran kalau Pak Yohan bersikap baik seperti itu
karena bersilaturrahmi.
Bu Sasa seperti orang gila, gila
cinta. Dalam tidurnya memanggil nama lelaki tua itu. “Yohaaan, yohaaan,
yohaaaan.” Bu Sasa menemui umi dan mengatakan kalau dia mau menikah dan memaksa
untuk dinikahkan. Umi bingung, putrinya yang cantik berubah 180 derajat, dia
ingin menikah dengan lelaki yang kemarin ditolaknya mentah-mentah.
“Kenapa
kau tiba-tiba ingin menikah dengannya?” Umi bertanya.
“Aku mencintainya umi, aku ingin menikah dengannya.” Bu Sasa merengek dan ini bukan sosok yang biasa.
“Kenapa kau ini? kenapa kau ingin menikah dengan laki-laki tua itu?”
“Umiii, dia tampan umi, aku ingin dengan dia, aku ingin hidup dengannya.”
“Masih banyak yang mengantrimu, kenapa harus dia? Hah? Aku tidak akan merestuimu.”
“Umi, aku hanya ingin dengannya umi, aku mencintainya, aku mau mati kalau umi tidak mau merestuiku.”
“Coba saja, kalau kau berani, aku tidak akan merestuimu. Aku tidak sudi punya menantu seperti dia.”
“Aku mencintainya umi, aku ingin menikah dengannya.” Bu Sasa merengek dan ini bukan sosok yang biasa.
“Kenapa kau ini? kenapa kau ingin menikah dengan laki-laki tua itu?”
“Umiii, dia tampan umi, aku ingin dengan dia, aku ingin hidup dengannya.”
“Masih banyak yang mengantrimu, kenapa harus dia? Hah? Aku tidak akan merestuimu.”
“Umi, aku hanya ingin dengannya umi, aku mencintainya, aku mau mati kalau umi tidak mau merestuiku.”
“Coba saja, kalau kau berani, aku tidak akan merestuimu. Aku tidak sudi punya menantu seperti dia.”
Bu
Sasa mengambil pisau dan mengarahkan ke pergelangan tangannya mengancam Umi.
Umi masih tetap dengan pendiriannya, dia tidak menggubris ancaman anaknya, dia
masih belum percaya anaknya benar-benar akan bunuh diri. Namun Bu Sasa serius,
dia mengarahkan pisau itu mengenai kulitnya dan menggores tangannya. Kalau saja
Umi tidak mencegah mungkin Bu Sasa sudah berhasil bunuh diri. “Iya, aku akan
merestuimu.”
Pernikahan
pun terjadi, Pak Yohan benar-benar menguasai Bu Sasa. Keadaan Bu Sasa semakin memburuk, badannya
kurus, dalam pikirannya hanya Pak Yohan, dia hanya mendengarkan apa yang
dikatakan oleh Pak Yohan. Santet Pak Yohan benar-benar telah menutup pikiran Bu
Sasa rapat-rapat. Dengan santet itu Pak Yohan memanfaatkan Bu Sasa untuk
menguras harta keluarga Bu Sasa. Harta pembagian yang diberikan umi tidak cukup
untuknya, dia meminta lebih lagi. Benar-benar serakah.
Keserakahannya
bukan ditunjukkan kepada Bu Sasa, Umi Nana saja tapi juga kepada
tetangga-tetangganya. Pekerjaannya bukan hanya sebagai petani tetapi juga
sebagai maling tanah. Setiap tanah memiliki batas tertentu yang sudah diberikan
oleh niniak-niniak terdahulu, namun bagi Pak Yohan itu digunakan untuk
memperluas tanahnya. Dia menghilangkan batas tanah tersebut dan mengganti
dengan batas yang baru dimana tanah orang lain dijadikannya tanahnya juga.
Jalan warisan juga dijadikannya sebagai tanahnya. Sehingga orang tidak bisa
lagi melalui jalan tersebut.
Kini,
masalah baru yang dibuatnya semakin menjadi-jadi. Dia mau merampas tanaman yang
ditanam suami dari Bu Siti. Semua orang mengetahui kalau kayu Jati itu ditanam
oleh suami Bu Siti meskipun terletak di tanah pembagian milik Bu Sasa. Jauh
sebelum adanya pembagian tanah dan Pak Yohan menjadi suami Bu Sasa kayu itu
sudah ditanam oleh suami Bu Siti. Namun karena sudah adanya pembagian tanah,
tanah itu menjadi milik Bu Sasa. Tetapi apa yang ditanam di dalamnya masihlah
pemilik yang menanam karena tidak adanya kesepakatan kalau setelah ada
pembagian maka semua yang ditanam akan menjadi pemilik tanah pembagian. Jelas,
kalau kayu jati itu masih hak dari suami Bu Siti.
Anak
SD pun pasti akan mengatakan kalau kayu jati itu milik suami Bu Siti. Tapi
anehnya orang serakah seperti Pak Yohan tidak mengakui hal tersebut. Dia bahkan
mau bersumpah kalau kayu itu miliknya. Sungguh lucu. Tapi umi Nana tidak mau
menerima sumpah dari menantu tidak tahu diri seperti Pak Yohan, karena Umi
takut anak dan cucunya yang akan kena dari sumpah itu. Allah menunjukkan
kuasanya sehari setelah bersumpah, tiba-tiba saja Pak Yohan pingsan ketika
belanja di pasar dan sehari kemudian anak laki-laki semata wayangnya masuk ke
rumah sakit.
No comments:
Post a Comment