Mungkin benar apa yang dikatakan ayah, “Berjuanglah untuk sukses,
Nak! Kamulah yang paling ibumu harapkan”. Ayah meneteskan air matanya untuk
pertama kali di depanku. Sekian lama ayah berjuang dengan kegagah-beraniannya
untuk menghidupi aku dan adikku sekarang meneteskan air matanya memohon
kepadaku. Aku sebagai laki-laki tegar pantang untuk menangis. Semua tangisanku
jatuh ke dalam sampai ke ulu hatiku. Sesak. .
Kulihat ayah bukan seperti ayah yang
dulu lagi dengan otot-otok kekar berwarna kecoklatan di sengat panasnya
matahari. Tangannya besar dan kuat yang mampu membalikkan bumi hingga bisa
ditumbuhi berbagai macam tumbuhan yang dapat dijual ke pasar dan uangnya untuk
menyekolahkan aku dan adikku. Hingga aku bisa duduk di bangku kuliah PT ini.
Aku bangga.
Sekarang kulihat ayah terbaring di
atas kasur beralaskan seprei putih dengan selang-selang menghiasi tubuhnya.
Dari ujung kelaminnya di masukkan yang kata orang namanya “kateter” dari ujung
penis sampai ke kandung kemihnya. Aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya
harus mengeluarkan pipis melewati kateter itu. Pasti sakiiit. Tangan kanan ayah
di tusuk sampai tabung darahnya untuk memasang selang infus. Kemarin dua buah
selang oksigen menutupi hidung ayah, kata mereka ini untuk membantu pernapasan ayah.
Ayah tidak bisa bernapas dengan baik.
Aku kasihan, sedih, ingin menangis
melihat kondisi ayah, aku ingin menemani ayah. Tapi panggilan pendidikan
memanggilku. Aku sudah terlanjur mengambil SP(semester pendek). Meskipun libur
begini, aku harus kembali ke kampus melanjutkan kuliahku. Terasa berat untuk
meninggalkan ayah, tapi mengingat pesan ayah, aku harus tegar, aku harus
berjuang meskipun banyak rintangan yang akan ku hadang.
“Ayah, aku pamit! Cepat sembuh ayah!” Aku sulit berkata-kata. Begitu
berat mengucapkan kata-kata itu.
“Iya, Nak.”
“Iya, Nak.”
Tidak begitu jelas apa yang ayah ucapkan, tapi aku mengerti kalau
ayah mengucapkan “iya”. Kulangkahkan kaki-ku keluar dari ruang kelas 3 intern
pria di Neoro Rumah Sakit Achmad Muchtar, namun kaki ku terhenti pada sebuah
ruangan VIP. Aku mendengar seorang wanita menangis histeris. Aku mengintip di
jendela. Suster menutup wajah pasien yang ditangisi wanita itu dengan kain
putih. Wanita itu tidak henti-hentinya menangis.
Langkah kaki-ku perlahan mundur, aku ingin kembali ke ruangan ayah
dirawat. Aku membayangkan kalau aku tidak bersama ayah, disaat terakhirnya. Aku
berpikiran yang tidak-tidak. Tiba-tiba
sebuah suara mengejutkan aku.
“Nak, kenapa masih disini?” Ibu mengagetkanku.
“Eh ibu, aku ragu ingin balik ke Padang bu.”
“Kenapa, Nak? Apa kamu memikirkan ayah? Ayah tidak apa-apa, Nak. Ada ibu dan adikmu. Tidak usah khawatir.”
“Tapi, Bu...”
“Tidak apa, Nak. Pergilah, nanti tidak dapat bangku”
“Iya, Bu. Kabari perkembangan bapak ya bu!”
“Eh ibu, aku ragu ingin balik ke Padang bu.”
“Kenapa, Nak? Apa kamu memikirkan ayah? Ayah tidak apa-apa, Nak. Ada ibu dan adikmu. Tidak usah khawatir.”
“Tapi, Bu...”
“Tidak apa, Nak. Pergilah, nanti tidak dapat bangku”
“Iya, Bu. Kabari perkembangan bapak ya bu!”
Aku melangkah pergi keluar meninggalkan RSAM. Dengan Angkot, aku
menuju terminal dan membeli tiket . Tidak beberapa lama, bus meninggalkan kota
Bukittinggi tercinta.Butuh waktu 4 jam untuk sampai ke kampusku. 2,5 jam ke
Basko, setengah jam ke Pos, dan 1 jam ke Pasar Baru, kosan-ku. Matahari sudah
menuju ke peraduan ketika ku sampai di kosan.
Aku menelepon ibu, menanyakan ayah, berharap sudah ada perkembangan
yang baik dari ayah.
“Bu, ayah gimana?”
“Tadi ayah dipasang selang makan dari hidungnya, bapak tidak bisa menelan, Nak!”
“Terus ayah ada perkembangan Bu?”
“Masih seperti kemarin, Nak.”
“Tadi ayah dipasang selang makan dari hidungnya, bapak tidak bisa menelan, Nak!”
“Terus ayah ada perkembangan Bu?”
“Masih seperti kemarin, Nak.”
Aku letakkan HP hasil jerih payahku di atas meja lusuh yang ku dapat
dari gudang ibu kosku yang sudah tidak terpakai lagi. HP ini kudapatkan dari
beasiswa yang kudapatkan karena IP-ku 3,07. Mungkin bagi anak ekonomi IP itu
terlalu mudah untuk didapatkan, tetapi bagi anak teknik sepertiku IP seperti
itu sudah merupakan prestasi yang membanggakan, meskipun masih ada yang lebih
besar dariku.
Kubersihkan diriku untuk menghadap-Nya, aku ingin memohon sembuhkan
ayahku, tegarkan ibuku dalam merawat ayah. Aku sedih saat ibu melihat ibu tidak
tidur semalaman karena menjaga ayah. Ibu tetap tegar meskipun sebenarnya ibu
dihadapkan dengan masalah yang beruntun. Sejak ayah sakit dan tidak bisa
bekerja lagi, ibu harus berjualan di kantin sekolah. Ibu bangun subuh-subuh
untuk membuat gorengan, nasi goreng, soto, dan menu lain. Dari hasil jualan itu
ibu menghidupi adik, aku dan ayah.
Kesabaran ibu semakin
diuji, perlahan-lahan gejala stroke ayah semakin terlihat. Kaki dan tangan ayah
susah digerakkan dan kaku. Ayah hanya bisa tergolek lemas di atas kasur. Sesak
napas ayah juga kambuh, mungkin karena terlalu memikirkan nasibnya dan nasib
keluarga ke depannya. Ibu tidak tega melihat ayah terus-terusan sakit, dengan
berbekal JAMKESMAS ibu membawa ayah ke Rumah Sakit.
Aku menyelesaikan doaku dan menuju ke meja lusuhku untuk belajar.
Namun, kulihat ada pesan dari adikku. “Bang, ayah bilang JANGAN LAMA-LAMA
KULIAHNYA, CEPAT SELESAI.” Aku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh adik, aku
segera menelpon adik, tapi entah kenapa tidak ada jawaban, aku menelepon ibu,
tapi tidak ada jawaban juga. Aku semakin risau, aku semakin takut terjadi
sesuatu dengan ayah. Aku tidak bisa berpikir jernih, dengan meminjam motor
temanku, aku berangkat kembali ke Bukittinggi.
Jalanan masih begitu terang dengan lampu-lampu kota, memasuki daerah
Silaiang, semuanya berubah gelap dan sepi, hanya lampu depan motor yang
menerangi perjalananku. Tikungan tajam
Silaiang kuhadang. Di sebuah tikungan yang menanjak aku mengiringi sebuah
Tronton pembawa tiang besi untuk tonggak listrik. Aku ingin mendahului tronton
tersebut, tapi terlalu sulit untuk memotong tronton panjang di tikungan.Tronton
itu tidak bisa bergerak maju, mungkin terlalu berat untuk mendaki. Besi-besi
dalam dalam baknya berjatuhan dan mengenai motorku dan tubuhku. Aku tidak tahu
apa-apa lagi. Yang kulihat hanya cahaya putih.
1 comment:
nie baa cro ny buek FONT tulisan gaya2 tuw duw nie??
Post a Comment