Friday, 30 December 2011

Ayaaaah


Mungkin benar apa yang dikatakan ayah, “Berjuanglah untuk sukses, Nak! Kamulah yang paling ibumu harapkan”. Ayah meneteskan air matanya untuk pertama kali di depanku. Sekian lama ayah berjuang dengan kegagah-beraniannya untuk menghidupi aku dan adikku sekarang meneteskan air matanya memohon kepadaku. Aku sebagai laki-laki tegar pantang untuk menangis. Semua tangisanku jatuh ke dalam sampai ke ulu hatiku. Sesak. .
          Kulihat ayah bukan seperti ayah yang dulu lagi dengan otot-otok kekar berwarna kecoklatan di sengat panasnya matahari. Tangannya besar dan kuat yang mampu membalikkan bumi hingga bisa ditumbuhi berbagai macam tumbuhan yang dapat dijual ke pasar dan uangnya untuk menyekolahkan aku dan adikku. Hingga aku bisa duduk di bangku kuliah PT ini. Aku bangga.
          Sekarang kulihat ayah terbaring di atas kasur beralaskan seprei putih dengan selang-selang menghiasi tubuhnya. Dari ujung kelaminnya di masukkan yang kata orang namanya “kateter” dari ujung penis sampai ke kandung kemihnya. Aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya harus mengeluarkan pipis melewati kateter itu. Pasti sakiiit. Tangan kanan ayah di tusuk sampai tabung darahnya untuk memasang selang infus. Kemarin dua buah selang oksigen menutupi hidung ayah, kata mereka ini untuk membantu pernapasan ayah. Ayah tidak bisa bernapas dengan baik.
          Aku kasihan, sedih, ingin menangis melihat kondisi ayah, aku ingin menemani ayah. Tapi panggilan pendidikan memanggilku. Aku sudah terlanjur mengambil SP(semester pendek). Meskipun libur begini, aku harus kembali ke kampus melanjutkan kuliahku. Terasa berat untuk meninggalkan ayah, tapi mengingat pesan ayah, aku harus tegar, aku harus berjuang meskipun banyak rintangan yang akan ku hadang.
“Ayah, aku pamit! Cepat sembuh ayah!” Aku sulit berkata-kata. Begitu berat mengucapkan kata-kata itu.
“Iya, Nak.”
Tidak begitu jelas apa yang ayah ucapkan, tapi aku mengerti kalau ayah mengucapkan “iya”. Kulangkahkan kaki-ku keluar dari ruang kelas 3 intern pria di Neoro Rumah Sakit Achmad Muchtar, namun kaki ku terhenti pada sebuah ruangan VIP. Aku mendengar seorang wanita menangis histeris. Aku mengintip di jendela. Suster menutup wajah pasien yang ditangisi wanita itu dengan kain putih. Wanita itu tidak henti-hentinya menangis.
Langkah kaki-ku perlahan mundur, aku ingin kembali ke ruangan ayah dirawat. Aku membayangkan kalau aku tidak bersama ayah, disaat terakhirnya. Aku berpikiran yang tidak-tidak.  Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan aku.
“Nak, kenapa masih disini?” Ibu mengagetkanku.
          “Eh ibu, aku ragu ingin balik ke Padang bu.”
          “Kenapa, Nak? Apa kamu memikirkan ayah? Ayah tidak apa-apa, Nak. Ada ibu dan adikmu. Tidak usah khawatir.”
“Tapi, Bu...”
“Tidak apa, Nak. Pergilah, nanti tidak dapat bangku”
“Iya, Bu. Kabari perkembangan bapak ya bu!”
Aku melangkah pergi keluar meninggalkan RSAM. Dengan Angkot, aku menuju terminal dan membeli tiket . Tidak beberapa lama, bus meninggalkan kota Bukittinggi tercinta.Butuh waktu 4 jam untuk sampai ke kampusku. 2,5 jam ke Basko, setengah jam ke Pos, dan 1 jam ke Pasar Baru, kosan-ku. Matahari sudah menuju ke peraduan ketika ku sampai di kosan.
Aku menelepon ibu, menanyakan ayah, berharap sudah ada perkembangan yang baik dari ayah.
“Bu, ayah gimana?”
          “Tadi ayah dipasang selang makan dari hidungnya, bapak tidak bisa menelan, Nak!”
“Terus ayah ada perkembangan Bu?”
“Masih seperti kemarin, Nak.”
Aku letakkan HP hasil jerih payahku di atas meja lusuh yang ku dapat dari gudang ibu kosku yang sudah tidak terpakai lagi. HP ini kudapatkan dari beasiswa yang kudapatkan karena IP-ku 3,07. Mungkin bagi anak ekonomi IP itu terlalu mudah untuk didapatkan, tetapi bagi anak teknik sepertiku IP seperti itu sudah merupakan prestasi yang membanggakan, meskipun masih ada yang lebih besar dariku.
Kubersihkan diriku untuk menghadap-Nya, aku ingin memohon sembuhkan ayahku, tegarkan ibuku dalam merawat ayah. Aku sedih saat ibu melihat ibu tidak tidur semalaman karena menjaga ayah. Ibu tetap tegar meskipun sebenarnya ibu dihadapkan dengan masalah yang beruntun. Sejak ayah sakit dan tidak bisa bekerja lagi, ibu harus berjualan di kantin sekolah. Ibu bangun subuh-subuh untuk membuat gorengan, nasi goreng, soto, dan menu lain. Dari hasil jualan itu ibu menghidupi adik, aku dan ayah.
          Kesabaran ibu semakin diuji, perlahan-lahan gejala stroke ayah semakin terlihat. Kaki dan tangan ayah susah digerakkan dan kaku. Ayah hanya bisa tergolek lemas di atas kasur. Sesak napas ayah juga kambuh, mungkin karena terlalu memikirkan nasibnya dan nasib keluarga ke depannya. Ibu tidak tega melihat ayah terus-terusan sakit, dengan berbekal JAMKESMAS ibu membawa ayah ke Rumah Sakit.
Aku menyelesaikan doaku dan menuju ke meja lusuhku untuk belajar. Namun, kulihat ada pesan dari adikku. “Bang, ayah bilang JANGAN LAMA-LAMA KULIAHNYA, CEPAT SELESAI.” Aku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh adik, aku segera menelpon adik, tapi entah kenapa tidak ada jawaban, aku menelepon ibu, tapi tidak ada jawaban juga. Aku semakin risau, aku semakin takut terjadi sesuatu dengan ayah. Aku tidak bisa berpikir jernih, dengan meminjam motor temanku, aku berangkat kembali ke Bukittinggi.
Jalanan masih begitu terang dengan lampu-lampu kota, memasuki daerah Silaiang, semuanya berubah gelap dan sepi, hanya lampu depan motor yang menerangi  perjalananku. Tikungan tajam Silaiang kuhadang. Di sebuah tikungan yang menanjak aku mengiringi sebuah Tronton pembawa tiang besi untuk tonggak listrik. Aku ingin mendahului tronton tersebut, tapi terlalu sulit untuk memotong tronton panjang di tikungan.Tronton itu tidak bisa bergerak maju, mungkin terlalu berat untuk mendaki. Besi-besi dalam dalam baknya berjatuhan dan mengenai motorku dan tubuhku. Aku tidak tahu apa-apa lagi. Yang kulihat hanya cahaya putih.

1 comment:

☺☺☺DODIE MARTA☺☺☺ said...

nie baa cro ny buek FONT tulisan gaya2 tuw duw nie??

Followers