Senja ini begitu menegangkan, Arini berusaha menyembunyikan kegelisahannya di depan ibu dan ayahnya. Entah kenapa, beberapa jam ini Arini gelisah tidak menentu. Dari kamar terus ke ruang tengah, balik ke kamar, terus ke beranda, mutar-mutar di beranda, dan kemudian kembali lagi ke kamar. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, hingga Arini daritadi gelisah tidak menentu.
Ibu Arini yang sedari tadi memperhatikan Arini dari dapur jadi ikut-ikutan gelisah melihat anaknya yang uring-uringan tidak menentu. Ingin menegur dan menanyakan kepada Arini, tapi ibu tidak ingin menghentikan kegiatan memasaknya, hari ini dia akan memasak masakan khusus karena suami tercintanya akan pulang dari Padang.
Arini melihat layar Handphone pemberian dari abangnya yang bekerja di Malaysia. Masih tidak ada perubahan apapun, tidak ada pesan atau panggilan yang masuk. Arini masih saja gelisah dan uring-uringan bolak-balik di rumah. Tiba-tiba saja Handphone Arini berbunyi, ada panggilan!. Arini segera mengangkat telepon tanpa memperhatikan terlebih dahulu siapa yang menelpon.
“Halo, Assalamualaikum!” Arini terburu-buru mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam, lagi ngapain Rin? Ngos-ngosan banget jawab teleponnya?” Terdengar suara dari seberang menjawab salam Arini begitu santainya.
“Ah, elo mung!” Hanya sedikit kata saja yang terucap dari mulut Arini. Wajahnya menunjukkan kekecewaan. Dia sepertinya benar-benar menunggu telepon dari seseorang, entah siapa.
“Napa Rin? Napa gag semangat gitu? Lo gag suka gue nelpon? Gue matiin nih.” Suara dari dalam telepon ingin menggoda Arini agar mau cerita.
“ Ah gag Mung, napa Mung? Tumben nelpon sore-sore?” Suara Arini masih terkesan dingin dan kecewa.
“Mangnya gag boleh neh gue nelpon sore-sore? Maunya pagi-pagi gitu?” Wanita yang dipanggil Mung itu masih terdengar menggoda Arini, namun Arini sepertinya benar-benar dingin sore ini.
“Gag, biasanya elo kan gag pernah nelpon, bokek mulu.”
“Yah elo Rin, kan gue gak bokek teruuus. Jahat elo ah! Eh ya, gue mau bilang sesuatu, tadi gue lihat Randy lagi di jalan, kayaknya Mau ke arah Batusangkar gitu.” Kali ini suara wanita itu lebih serius.
“Dia pake baju apa Ci? Pake motor? Sama siapa?” Suara Arini mendadak jadi bersemangat ketika mendengar nama Randy.
“Yah, elo Rin, satu-satu dong nanyanya, gue jadi pusing nih jawabnya. Haah elo. Tadi gue liat dia pake baju kaus pendek gitu, dia sendiri bawa motor, terus temennya ngikutin belakang. Tadi dia sempat nyapa gue, tapi sambil lewat aja.”
“Haaah Ciiii, gue pengen ketemu diaaa, gue kangen lagi. Coba kemaren gue turun dari Angdes(Angkutan desa) dan nyamperin dia. Pasti gue seneng banget.”
“Elo sih Rin, kan udah gue bilang kita turun, tapi elonya malah gak mau dan mempertahankan gengsi lo”
“Gue sebagai cewek malu lah Ciiii nyamperin cowok duluan? Elo neh.”
“Eh Rin, Ayank gue nelpon neh, gue angkat dulu ya. Udah ya Riiiiiin. Hehe daaaaa!”
“Waalaikumsalam, lagi ngapain Rin? Ngos-ngosan banget jawab teleponnya?” Terdengar suara dari seberang menjawab salam Arini begitu santainya.
“Ah, elo mung!” Hanya sedikit kata saja yang terucap dari mulut Arini. Wajahnya menunjukkan kekecewaan. Dia sepertinya benar-benar menunggu telepon dari seseorang, entah siapa.
“Napa Rin? Napa gag semangat gitu? Lo gag suka gue nelpon? Gue matiin nih.” Suara dari dalam telepon ingin menggoda Arini agar mau cerita.
“ Ah gag Mung, napa Mung? Tumben nelpon sore-sore?” Suara Arini masih terkesan dingin dan kecewa.
“Mangnya gag boleh neh gue nelpon sore-sore? Maunya pagi-pagi gitu?” Wanita yang dipanggil Mung itu masih terdengar menggoda Arini, namun Arini sepertinya benar-benar dingin sore ini.
“Gag, biasanya elo kan gag pernah nelpon, bokek mulu.”
“Yah elo Rin, kan gue gak bokek teruuus. Jahat elo ah! Eh ya, gue mau bilang sesuatu, tadi gue lihat Randy lagi di jalan, kayaknya Mau ke arah Batusangkar gitu.” Kali ini suara wanita itu lebih serius.
“Dia pake baju apa Ci? Pake motor? Sama siapa?” Suara Arini mendadak jadi bersemangat ketika mendengar nama Randy.
“Yah, elo Rin, satu-satu dong nanyanya, gue jadi pusing nih jawabnya. Haah elo. Tadi gue liat dia pake baju kaus pendek gitu, dia sendiri bawa motor, terus temennya ngikutin belakang. Tadi dia sempat nyapa gue, tapi sambil lewat aja.”
“Haaah Ciiii, gue pengen ketemu diaaa, gue kangen lagi. Coba kemaren gue turun dari Angdes(Angkutan desa) dan nyamperin dia. Pasti gue seneng banget.”
“Elo sih Rin, kan udah gue bilang kita turun, tapi elonya malah gak mau dan mempertahankan gengsi lo”
“Gue sebagai cewek malu lah Ciiii nyamperin cowok duluan? Elo neh.”
“Eh Rin, Ayank gue nelpon neh, gue angkat dulu ya. Udah ya Riiiiiin. Hehe daaaaa!”
Wanita yang dipanggil Ci dan Mung ditelpon itu adalah sahabat Arini, dia bernama Dechi tapi Arini sering memanggilnya Cimung. Mungkin karena ingin kedengaran lucu saja, awalnya Dechi marah dipanggil Cimung, tapi lama-kelamaan karena sering dipanggil Cimung, Dechi menjadi terbiasa.
Dechi menutup telepon tanpa mengucapkan salam telebih dahulu. Sepertinya dia tidak ingin pacarnya terlalu lama menunggu kalau harus basa-basi dulu menutup telepon dengan Arini. Arini yang tadinya bersemangat sekali mendengar nama Randy gelisah kembali. Di pelupuk matanya terbayang wajah Randy kemarin. Randy yang begitu tampannya memakai baju putih dan Jeans hitam, rambut lurusnya ditutupi oleh topi berwarna putih. Dia duduk di atas motor Jupiter MX berwarna merahnya dengan senyum menggoda yang menghiasi wajah tampannya.
Senyum Randy tidak pernah hilang dari ingatan Arini. Meskipun sudah lama berpisah dengan Randy, Arini tidak pernah sedetikpun bisa melupakan Randy. Bagi Arini, Randy adalah cinta pertama yang akan selalu hidup di hatinya dan tidak akan pernah tergantikan dengan yang lain. Randy begitu baik dan tidak pernah menyakiti Arini. Mereka berdua putus karena Arini juga, Arini dengan sikap egoisnya selalu membesar-besarkan masalah. Bahkan Arini sering mengulur-ulur waktu untuk bertemu dengan Randy dengan alasan sibuk dengan tugas sekolah. Sampai akhirnya Randy menemukan pacar yang lebih baik dari Arini. Arini masih ingat kata-kata yang diucapkan Randy ketika mau putus.
“Arin, sebenarnya aku sama dia udah jadian seminggu yang lalu sebelum Arin minta balikan lagi. Dia itu baik Rin, bukannya aku pengen ninggalin kamu Rin, aku masih sayang sama kamu Rin, tapi Mere baik sama aku Rin, dia dewasa dan shaleh, aku pengen punya pacar yang bisa nuntun aku masuk surga Rin, maafkan aku Rin!”
Glek! Kata-kata itu dalam sekali dan menyadarkan Arini, betapa selama ini Arini selalu egois dan tidak peduli dengan Randy. Arini menangis dan meratapi perpisahannya dengan Randy, sudah terlambat untuk meminta untuk kembali dengan Randy, karena Randy sudah menjadi milik orang lain. Arini masih berharap suatu saat nanti bisa kembali bersama dengan Randy. Meski Arini sendiripun tidak tahu kapan itu.
Arini masih merasa gelisah tidak menentu. Ibunya yang sedari tadi memperhatikan gelagat anaknya mulai bertanya. “Arin, kamu kenapa nak?”. Arini memeluk ibunya langsung dengan erat.”Arin tidak tau bu, rasanya akan terjadi sesuatu bu. Tapi Arin gag tau terjadi sama siapa?” Ibunya berusaha menenangkan Arini, mengusap-usap punggung Arini.
Treeet Treeet Treeet Handphone Arini berbunyi, sebuah SMS dari Dechi. Pendek tapi spontan membuat Arini terpekik dan menangis. “Randy buuuuu” Arini memeluk erat ibunya dan menangis. “Kenapa dengan dia, Nak?” Arini tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Arini hanya menyodorkan handphonenya kepada ibunya. “Arin telpon Dechi aja, mungkin Dechi sedang bercanda.” Ibunya masih berusaha menghibur hati anaknya.
Treeet Treeet Treeet Handphone Arini berbunyi, sebuah SMS dari Dechi. Pendek tapi spontan membuat Arini terpekik dan menangis. “Randy buuuuu” Arini memeluk erat ibunya dan menangis. “Kenapa dengan dia, Nak?” Arini tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Arini hanya menyodorkan handphonenya kepada ibunya. “Arin telpon Dechi aja, mungkin Dechi sedang bercanda.” Ibunya masih berusaha menghibur hati anaknya.
“Halo Arini”
“Ciii, benar Randy kecelakaan? Dimana?”
“Tadi Ade nelpon gue Rin,dia bilang Randy kecelakaan di Batusangkar, dia ditabrak sama mobil, sekarang dia ada di Rumah Sakit sana.”
“Ciii, gue pengen kesana Ciii, semoga dia baik-baik saja Ciii”
“Iya Rin, semoga dia baik-baik saja.”
“Ciii, benar Randy kecelakaan? Dimana?”
“Tadi Ade nelpon gue Rin,dia bilang Randy kecelakaan di Batusangkar, dia ditabrak sama mobil, sekarang dia ada di Rumah Sakit sana.”
“Ciii, gue pengen kesana Ciii, semoga dia baik-baik saja Ciii”
“Iya Rin, semoga dia baik-baik saja.”
Entah kenapa, seperti ada yang disembunyikan Dechi. Arini yang mendengar berita kecelakaan Randy terus-terusan menangis. Ibunya jadi kebingungan sendiri menenangkan Arini. “Arin, besok kita kesana yaa, sekarang kamu tenang. Dia pasti baik-baik saja. Jangan terlalu mencemaskan dia.” Arini masih saja menangis seolah-olah tidak mendengarkan ibunya.
Tiba-tiba saja Handphone ibu Arini berbunyi. Suara dari seberang sana terdengar agak panik. “Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun.” Ibu Arini hanya mengucapkan sebuah kalimat dan kemudian telepon itu ditutup oleh penelepon. “Arin, Randy sudah meninggal.” Arini berteriak histeris. Dia tidak percaya, tidak sanggup menerima kenyataan kalau Randy akan pergi untuk selama-lamanya. Tubuh Arini jatuh ke lantai. Arini pingsan.
No comments:
Post a Comment