Friday, 30 December 2011

Ayaaaah


Mungkin benar apa yang dikatakan ayah, “Berjuanglah untuk sukses, Nak! Kamulah yang paling ibumu harapkan”. Ayah meneteskan air matanya untuk pertama kali di depanku. Sekian lama ayah berjuang dengan kegagah-beraniannya untuk menghidupi aku dan adikku sekarang meneteskan air matanya memohon kepadaku. Aku sebagai laki-laki tegar pantang untuk menangis. Semua tangisanku jatuh ke dalam sampai ke ulu hatiku. Sesak. .
          Kulihat ayah bukan seperti ayah yang dulu lagi dengan otot-otok kekar berwarna kecoklatan di sengat panasnya matahari. Tangannya besar dan kuat yang mampu membalikkan bumi hingga bisa ditumbuhi berbagai macam tumbuhan yang dapat dijual ke pasar dan uangnya untuk menyekolahkan aku dan adikku. Hingga aku bisa duduk di bangku kuliah PT ini. Aku bangga.
          Sekarang kulihat ayah terbaring di atas kasur beralaskan seprei putih dengan selang-selang menghiasi tubuhnya. Dari ujung kelaminnya di masukkan yang kata orang namanya “kateter” dari ujung penis sampai ke kandung kemihnya. Aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya harus mengeluarkan pipis melewati kateter itu. Pasti sakiiit. Tangan kanan ayah di tusuk sampai tabung darahnya untuk memasang selang infus. Kemarin dua buah selang oksigen menutupi hidung ayah, kata mereka ini untuk membantu pernapasan ayah. Ayah tidak bisa bernapas dengan baik.
          Aku kasihan, sedih, ingin menangis melihat kondisi ayah, aku ingin menemani ayah. Tapi panggilan pendidikan memanggilku. Aku sudah terlanjur mengambil SP(semester pendek). Meskipun libur begini, aku harus kembali ke kampus melanjutkan kuliahku. Terasa berat untuk meninggalkan ayah, tapi mengingat pesan ayah, aku harus tegar, aku harus berjuang meskipun banyak rintangan yang akan ku hadang.
“Ayah, aku pamit! Cepat sembuh ayah!” Aku sulit berkata-kata. Begitu berat mengucapkan kata-kata itu.
“Iya, Nak.”
Tidak begitu jelas apa yang ayah ucapkan, tapi aku mengerti kalau ayah mengucapkan “iya”. Kulangkahkan kaki-ku keluar dari ruang kelas 3 intern pria di Neoro Rumah Sakit Achmad Muchtar, namun kaki ku terhenti pada sebuah ruangan VIP. Aku mendengar seorang wanita menangis histeris. Aku mengintip di jendela. Suster menutup wajah pasien yang ditangisi wanita itu dengan kain putih. Wanita itu tidak henti-hentinya menangis.
Langkah kaki-ku perlahan mundur, aku ingin kembali ke ruangan ayah dirawat. Aku membayangkan kalau aku tidak bersama ayah, disaat terakhirnya. Aku berpikiran yang tidak-tidak.  Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan aku.
“Nak, kenapa masih disini?” Ibu mengagetkanku.
          “Eh ibu, aku ragu ingin balik ke Padang bu.”
          “Kenapa, Nak? Apa kamu memikirkan ayah? Ayah tidak apa-apa, Nak. Ada ibu dan adikmu. Tidak usah khawatir.”
“Tapi, Bu...”
“Tidak apa, Nak. Pergilah, nanti tidak dapat bangku”
“Iya, Bu. Kabari perkembangan bapak ya bu!”
Aku melangkah pergi keluar meninggalkan RSAM. Dengan Angkot, aku menuju terminal dan membeli tiket . Tidak beberapa lama, bus meninggalkan kota Bukittinggi tercinta.Butuh waktu 4 jam untuk sampai ke kampusku. 2,5 jam ke Basko, setengah jam ke Pos, dan 1 jam ke Pasar Baru, kosan-ku. Matahari sudah menuju ke peraduan ketika ku sampai di kosan.
Aku menelepon ibu, menanyakan ayah, berharap sudah ada perkembangan yang baik dari ayah.
“Bu, ayah gimana?”
          “Tadi ayah dipasang selang makan dari hidungnya, bapak tidak bisa menelan, Nak!”
“Terus ayah ada perkembangan Bu?”
“Masih seperti kemarin, Nak.”
Aku letakkan HP hasil jerih payahku di atas meja lusuh yang ku dapat dari gudang ibu kosku yang sudah tidak terpakai lagi. HP ini kudapatkan dari beasiswa yang kudapatkan karena IP-ku 3,07. Mungkin bagi anak ekonomi IP itu terlalu mudah untuk didapatkan, tetapi bagi anak teknik sepertiku IP seperti itu sudah merupakan prestasi yang membanggakan, meskipun masih ada yang lebih besar dariku.
Kubersihkan diriku untuk menghadap-Nya, aku ingin memohon sembuhkan ayahku, tegarkan ibuku dalam merawat ayah. Aku sedih saat ibu melihat ibu tidak tidur semalaman karena menjaga ayah. Ibu tetap tegar meskipun sebenarnya ibu dihadapkan dengan masalah yang beruntun. Sejak ayah sakit dan tidak bisa bekerja lagi, ibu harus berjualan di kantin sekolah. Ibu bangun subuh-subuh untuk membuat gorengan, nasi goreng, soto, dan menu lain. Dari hasil jualan itu ibu menghidupi adik, aku dan ayah.
          Kesabaran ibu semakin diuji, perlahan-lahan gejala stroke ayah semakin terlihat. Kaki dan tangan ayah susah digerakkan dan kaku. Ayah hanya bisa tergolek lemas di atas kasur. Sesak napas ayah juga kambuh, mungkin karena terlalu memikirkan nasibnya dan nasib keluarga ke depannya. Ibu tidak tega melihat ayah terus-terusan sakit, dengan berbekal JAMKESMAS ibu membawa ayah ke Rumah Sakit.
Aku menyelesaikan doaku dan menuju ke meja lusuhku untuk belajar. Namun, kulihat ada pesan dari adikku. “Bang, ayah bilang JANGAN LAMA-LAMA KULIAHNYA, CEPAT SELESAI.” Aku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh adik, aku segera menelpon adik, tapi entah kenapa tidak ada jawaban, aku menelepon ibu, tapi tidak ada jawaban juga. Aku semakin risau, aku semakin takut terjadi sesuatu dengan ayah. Aku tidak bisa berpikir jernih, dengan meminjam motor temanku, aku berangkat kembali ke Bukittinggi.
Jalanan masih begitu terang dengan lampu-lampu kota, memasuki daerah Silaiang, semuanya berubah gelap dan sepi, hanya lampu depan motor yang menerangi  perjalananku. Tikungan tajam Silaiang kuhadang. Di sebuah tikungan yang menanjak aku mengiringi sebuah Tronton pembawa tiang besi untuk tonggak listrik. Aku ingin mendahului tronton tersebut, tapi terlalu sulit untuk memotong tronton panjang di tikungan.Tronton itu tidak bisa bergerak maju, mungkin terlalu berat untuk mendaki. Besi-besi dalam dalam baknya berjatuhan dan mengenai motorku dan tubuhku. Aku tidak tahu apa-apa lagi. Yang kulihat hanya cahaya putih.

Sunday, 25 December 2011

Akhirnya Aku Lepas


Kejujuran, sebuah kata yang begitu sulit ku ungkapkan ketika bersamanya. Mungkin karena itu semuanya tidak pernah terbangun dengan kokoh, selalu hancur. Bayang-bayang masalalu yang tidak pernah hilang di benakku. Hingga itu menjadikan pelekat tersendiri untuk tidak bisa lepas. Mungkin hanya keajaiban yang akan membuatku melupakan masalalu.
          Janji pun bukanlah sebagai kalimat yang sakral lagi. Itu hanya sebuah janji, yang akan hilang seiring bergulirnya waktu, hingga janji tinggallah janji. Kedua kata itu antara kejujuran dan janji yang selalu membuat kita tidak pernah saling berbaikan. Selalu ada pertengkaran menghiasi  hubungan yang masih terlalu dini untuk dijalani.
          Masalah demi masalah selalu menghadang, menguji dan menghantam tali kasih yang kita rajut dari benang kusut. Memang susah kalau dari awal sudah tidak saling pengertian, sampai akhir pun tidak akan saling pengertian.  Bahkan akan tambah memburuk, lebih buruk dari apa yang dipikirkan sebelumnya.
          Aku sebagai wanita kebanyakan menginginkan mempunyai kekasih hati dan belahan jiwa yang sempurna, mengerti aku, memanjakan aku dengan kasih sayangnya,dan selalu membawa aku ke arah yang lebih baik dan bukan menjerumuskan aku. Aku terlalu muda, bahkan terlalu dungu memikirkan hal cinta. Semuanya hanya karena ikut-ikutan dan gengsi yang akhirnya membuat aku terpuruk, terpuruk dan terpuruk.
          Entah bagaimana aku bisa menerima laki-laki yang dari awal tidak aku suka, mungkin karena dia pintar bicara hingga aku tidak berkutik untuk menolaknya. Padahal hati ini menjerit ingin menolaknya. Tapi entah bagaimana dengan mudahnya aku masuk ke sarang ular tanpa menolak sedikitpun. Aku seperti orang yang sedang di hipnotis yang lupa akan diri sendiri dan tidak sadar akan apa yang aku lakukan.
          Seperti hilang kendali aku bahkan melupakan ada orang yang kusayang ketelantarkan di sampingku hanya karena dia yang membuatku terhipnotis. Aku membohongi Ibu yang selama ini menjadi orang yang paling berharga dalam hidupku. Aku juga melupakan Kakakku yang selalu memberikan aku semangat untuk terus maju. Dan melupakan teman-temanku yang selalu mendukung apa pun yang aku lakukan. Kecuali dalam hal ini.
          Teman-temanku selalu mengejekku kenapa aku bisa bersama dia? “Kamu cantik, pintar, masih banyak yang mau sama kamu, gag Cuma dia.” Tapi aku seolah-olah tidak mendengar kata-kata mereka, aku hanya mendengarkan dia yang selalu membuatku bertekuk lutut tidak berdaya. Entah kasihan atau memang cinta, aku selalu tidak tega melihatnya mengemis-ngemis cinta padaku. Aku selalu ingin menuruti apa maunya. Meskipun dalam hati aku tidak pernah mau melakukannya.
          Aku bersamanya bukan berarti aku menuruti semua kemauannya. Aku bersikeras hingga pertengkaran selalu terjadi jika dia menginginkan sesuatu yang aku tidak suka. Namun, selalu dia yang menang dan aku yang kalah. Dia selalu membuatku melayang dengan kata-kata manis yang ternyata adalah racun yang akan membunuhku, membunuh hatiku, membunuh pikiranku. Bukan hanya kata namun juga janji-janji. Entah janji apa itu? Seperinya sekarang janji hanyalah seperti kata-kata yang kita ucapkan setiap hari. Dan tidak berarti lagi. Tidak bermakna.
          Dia selalu mengatakan padaku setiap hari, “Aku cinta kamu, selamanya aku akan mencintaimu, aku tidak akan bisa hidup tanpa kamu, karena kamu adalah hidupku”. Seperti sebuah mantra yang membuatku tidak sadar kalau semua itu adalah kebohongan dan selalu terkekang karenanya. Berkali-kali Ibu, kakak dan teman-temanku mengingatkan aku untuk jauh darinya, tapi aku tidak pernah mendengarnya. Aku dibuat menjadi seorang yang tuna rungu yang tidak mendengar apa yang dikatakan orang.
          Setiap kali aku ingin menuruti perkataan semuanya, dengan sigapnya dia bermain peran sebagai pemeran protagonis yang selalu teraniaya dan menangis. Meneteskan air mata buaya yang membuatku tidak berdaya menyakitinya. Padahal sebenarnya akulah yang teraniaya bersamanya. Dia tidak pernah mengizinkan aku berteman dengan teman-temanku, dia menganggap teman-teman lah yang akan menghancurkan hubungan kita. Padahal dia sendiri yang menggali lubang dan mengubur diri sendiri dalam lubang yang dia gali.
          Semua kesalahan yang diperbuatnya menjadi kesalahanku dengan teman-temanku. Dia seolah-olah Nabi yang tidak pernah salah. Dia seperti Tuhan yang mengendalikan aku semaunya. Dia yang berbuat namun aku yang dituduh melakukan semuanya. Dia menceritakan kesalahannya dengan menyalahkan aku, memojokkan aku. Hingga aku tidak mempunyai nyali untuk melawannya. Pernah aku melawan, dia dengan jurus super hebatnya menangis di depanku. “Haruskah aku bersujud di kakimu, agar kamu percaya aku tidak pernah melakukannya, merendahkan diriku? Ataukah kamu hanya mempermainkan aku, padahal aku sayang banget sama kamu, semuanya telah aku korbankan untukmu, tapi kamu malah selingkuh”.
          Begitu sempurnanya penyamaran seekor srigala untuk mendapatkan Si kerudung merah. Hingga aku tidak tahu kalau dia sendiri berteriak mengatakan kalau dia selingkuh. Namun, aku begitu mudahnya percaya dengan kata-katanya. Andai saja waktu itu aku sudah belajar analisa ekonomi, mungkin aku sudah analisis dengan sikapnya yang terlalu berlebihan dan cendrung gombal. Namun sayangnya aku hanya seorang siswa IPA di SMA yang hanya fokus sama suatu hal yang pasti. Aku tidak memikirkan kenapa dia bisa bicara begitu? Apa yang membuatnya seperti itu?
          Aku seperti orang bodoh saat bersamanya, dia selalu bilang sangat menghargaiku, mencintaiku. Tapi semua omong kosong. Benar kata orang “Orang yang banyak omong, tindakannya sedikit”. Begitu pula dia, dia hanya menjanji-janjikan hal yang tidak pernah ditepatinya. Dia juga mengatakan hal yang sebenarnya terlalu berlebihan.
          Setelah sekian lama mencoba untuk melepaskan belenggu dari hidupnya yang penuh penderitaan batinku. Akhirnya aku bebas, aku seperti burung  yang lepas dari sangkar yang bebas kemana saja beterbangan tanpa harus dikekang lagi. Aku bisa kembali mengabdi pada ibu dan kakakku, aku juga bebas ketawa dengan teman-temanku. Aku merasakan dunia tidak sempit lagi. Aku bebas menggapai cita-citaku tanpa harus diatur lagi sesuai keinginannya. Bagiku dunia ini terasa indah dengan adanya keluarga dan teman-temanku di sampingku.

Wednesday, 21 December 2011

About my Friend


        Pagi ini lumayan cerah ya! Matahari gag ngumpet lagi kayak kemaren-kemaren. Tapi kayaknya matahari masih ngantuk, kurang semangat menampakkan wajahnya yang tampan. Hahaha emangnya matahari cowok apa? Bener-bener manusia ya.. :D Bisa deh Aku sama Chichi jemur pakaian. Secara, udah hampir dua hari baju aku selesei dicuci gag di jemur. Dibiarin aja di kamar mandi, bikin Boutique baru tampa modal dengan atribut nyamuk yang bertebaran. Hohooo
        Yah, aku nulis pakai aku-aku ya. Gimana ya kalau aku nulisnya pake gue-gue ajah. Pasti deh si Muti gemes kalau ketemu gue habis baca tulisan gue. Haha udah mulai pake gue neh. Gimana gak coba? Pas di kampus aja pas gue dengan lebaynya ngomong pake gue-gue gitu dengan gaya yang suuuueper lebaynya Muti jadi gregeten. Sherina #mode on. Coba kalau Muti pake Gue gitu kan biasa aja. Soalnya di Bekasi kan udah biasa ngomong gitu juga. Sekarang aja yang gak gara-gara takut di kibuli sama gue. Haha gue kan suka banget ngibuli orang, terlebih Ina tuh.
        Kebayang deh wajah Ina yang kita kibuli bareng-bareng sama  Muti, Kiki, dan Ayu wajah Ina berubah jadi paling unyu sedunia yang bikin Muti jadi pengen cubit pipinya. Gimana gag, bayangin ajah bibirnya maju lima centimeter, eh kepanjangan ya, gag deh dua centimeter aja deh terus mengerlingkan matanya yang berkecamata ke arah kami. Haha lengkap deh Ina paling unyu sedunia. Tapi meskipun sering di kibuli gitu jangan salah, diantara kita dia yang paling pinterrr dan rajiiin. Polos-polos gitu banyak otak juga tuh.
        Sejak gue jadi anak ekonomi gue jadi analisis banget. Kalau kuliah pagi gue bsering banget merhatiin si Kiki tuh sama HP-nya. Ada sesuatu antara mereka berdua. Tiap Kiki liat HP-nya sering senyum-senyum sendiri, gue kadang- kadang jadi takut sendiri aja, kalau-kalau Kiki ada kelainan begitu, nambah lagi yang harus dipelajari sama anak IPS di SMA. Jenis-jenis kelainan seks: 1.Homoseks  2.Lesbian  3.Pedofilia  terus yang keempatnya ada suka sama Handphone sendiri. Kalau beneran Kiki suka sama HP-nya gak mau lagi deh gue temenan sama dia. Ngumpet belakang tangkai sapu aja deh. Eh tangkai sapu kan Kiki ya? Ahaaa sama aja pergi ke mulut harimau tu ya. Gag jadi deh. Biar bagaimanapun Kiki, dia akan tetep temen gue.
        Terus fenomena selanjutnya, MISS LATE dua orang temen gue yang paling Leeeeeeet alias Late banget. Ini bener-benar tingkah laku masyarakat Indonesia yang selalu punya jam karet.  Masuk kuliah jam 07.30 tapi si Muti jam segitu baru mau mandiiii. Oh tidaaaaak!! Bener-bener mau kiamat. Sama aja tuh sama si Ayu, tapi Ayu lumayanlah dibanding Muti, tapi sama aja MISS LATE. Kalau mau bikin janji sama mereka kita harus siap-siap berdosa dulu, kalau mau janji jam 2 mending bilang ke mereka jam 1 supaya gak jamuran nunggu mereka. Hahaha.. Tapi kalau mereka udah tau gini gak ada artinya juga, pasti ujung-ujungnya telat juga tuh. Hohoho.
        Fenomena yang paling gak asing lagi adalah KOREA, temen-temen gue ini juga hampir semuanya pencinta Korea. Kayak si Muti ngefans banget sama si Kevin dan Ina sama Shi-Nee. Tapi Ina neh gak pernah konsisten, sukanya gonta-ganti aja, maunya gimana aja. Kiki suka juga sih sama Korea-korean gitu tapi gak segila Muti sama Ina, Kiki sukanya gambar manga. Soal manga Muti juga suka nih, dia paling hebat tu bikin gambar manganya. Hoho gue aja sampai terharu kalau liat gambarnya. Sampai-sampai gue nangis terus netesin air mata gue ke kertas gambar manganya, terus tiba-tiba saja yang digambar Muti itu berubah menjadi orang asli. Owh gantengnyaaa. Kiuuuuuuutttt banget (cute tulisannya). Haha Muti pasti gregetan banget neh bacanya, Lebayyy.. Haha.. Satu lagi temen gue, kalau yang lainnya pada suka Korea temen gue satu ini suka juga seh sama Korea tapi dia nge-fans sama adek gue. “Rio” gak usah dipanjangin, gue takut Ayu nonjok gue kalau dia tau gue nulis tentang dia. Ngapain coba si Ayu ngefans sama adek gue, anak kecil gitu, Ayu, ayu.. Hahaha
        Kesimpulan analisis gue, kenapa coba Kiki selalu senyum-senyum sendiri kalau lagi liat layar Handphonenya, terus kenapa Muti, Ina,Ayu nge fans sama orang yang belum tentu nge-fans sama mereka juga. Hohoho. Terus kalau kesimpulan buat gue apa ya? Haha gue kenapa harus sewot gitu mereka suka apa.? Kan suka-suka mereka. Haha peace my best friend :P

Topi Putih dan Motor Merah sebagai Pertanda


            Senja ini begitu menegangkan, Arini berusaha menyembunyikan kegelisahannya di depan ibu dan ayahnya. Entah kenapa, beberapa jam ini Arini gelisah tidak menentu. Dari kamar terus ke ruang tengah, balik ke kamar, terus ke beranda, mutar-mutar di beranda, dan kemudian kembali lagi ke kamar. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, hingga Arini daritadi gelisah tidak menentu.
            Ibu Arini yang sedari tadi memperhatikan Arini dari dapur jadi ikut-ikutan gelisah melihat anaknya yang uring-uringan tidak menentu. Ingin menegur dan menanyakan kepada Arini, tapi ibu tidak ingin menghentikan kegiatan memasaknya, hari ini dia akan memasak masakan khusus  karena suami tercintanya akan pulang dari Padang.
            Arini melihat layar Handphone pemberian dari abangnya yang bekerja di Malaysia. Masih tidak ada perubahan apapun, tidak ada pesan atau panggilan yang masuk. Arini masih saja gelisah dan uring-uringan bolak-balik di rumah. Tiba-tiba saja Handphone Arini berbunyi, ada panggilan!. Arini segera mengangkat telepon tanpa memperhatikan terlebih dahulu siapa yang menelpon.
“Halo, Assalamualaikum!” Arini terburu-buru mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam, lagi ngapain Rin? Ngos-ngosan banget jawab teleponnya?” Terdengar suara dari seberang menjawab salam Arini begitu santainya.
“Ah, elo mung!” Hanya sedikit kata saja yang terucap dari mulut Arini. Wajahnya menunjukkan kekecewaan. Dia sepertinya benar-benar menunggu telepon dari seseorang, entah siapa.
“Napa Rin? Napa gag semangat gitu? Lo gag suka gue nelpon? Gue matiin nih.” Suara dari dalam telepon ingin menggoda Arini agar mau cerita.
“ Ah gag Mung, napa Mung? Tumben nelpon sore-sore?” Suara Arini masih terkesan dingin dan kecewa.
“Mangnya gag boleh neh gue nelpon sore-sore? Maunya pagi-pagi gitu?” Wanita yang dipanggil Mung itu masih terdengar menggoda Arini, namun Arini sepertinya benar-benar dingin sore ini.
“Gag, biasanya elo kan gag pernah nelpon, bokek mulu.”
“Yah elo Rin, kan gue gak bokek teruuus. Jahat elo ah! Eh ya, gue mau bilang sesuatu, tadi gue lihat Randy lagi di jalan, kayaknya Mau ke arah Batusangkar gitu.” Kali ini suara wanita itu lebih serius.
“Dia pake baju apa Ci? Pake motor? Sama siapa?” Suara Arini mendadak jadi bersemangat ketika mendengar nama Randy.
“Yah, elo Rin, satu-satu dong nanyanya, gue jadi pusing nih jawabnya. Haah elo. Tadi gue liat dia pake baju kaus pendek gitu, dia sendiri bawa motor, terus temennya ngikutin belakang. Tadi dia sempat nyapa gue, tapi sambil lewat aja.”
“Haaah Ciiii, gue pengen ketemu diaaa, gue kangen lagi. Coba kemaren gue turun dari Angdes(Angkutan desa) dan nyamperin dia. Pasti gue seneng banget.”
“Elo sih Rin, kan udah gue bilang kita turun, tapi elonya malah gak mau dan mempertahankan gengsi lo”
“Gue sebagai cewek malu lah Ciiii nyamperin cowok duluan? Elo neh.”
“Eh Rin, Ayank gue nelpon neh, gue angkat dulu ya. Udah ya Riiiiiin. Hehe daaaaa!”
            Wanita yang dipanggil Ci dan Mung ditelpon itu adalah sahabat Arini, dia bernama Dechi tapi Arini sering memanggilnya Cimung. Mungkin karena ingin kedengaran lucu saja, awalnya Dechi marah dipanggil Cimung, tapi lama-kelamaan karena sering dipanggil Cimung, Dechi menjadi terbiasa.
            Dechi menutup telepon tanpa mengucapkan salam telebih dahulu. Sepertinya dia tidak ingin pacarnya terlalu lama menunggu kalau harus basa-basi dulu menutup telepon dengan Arini.  Arini yang tadinya bersemangat sekali mendengar nama Randy gelisah kembali. Di pelupuk matanya terbayang wajah Randy kemarin. Randy yang begitu tampannya memakai baju putih dan Jeans hitam, rambut lurusnya ditutupi oleh topi berwarna putih. Dia duduk di atas motor Jupiter MX berwarna merahnya dengan senyum menggoda yang menghiasi wajah tampannya.
            Senyum Randy tidak pernah hilang dari ingatan Arini. Meskipun sudah lama berpisah dengan Randy, Arini tidak pernah sedetikpun bisa melupakan Randy. Bagi Arini, Randy adalah cinta pertama yang akan selalu hidup di hatinya dan tidak akan pernah tergantikan dengan yang lain. Randy begitu baik dan tidak pernah menyakiti Arini. Mereka berdua putus karena Arini juga, Arini dengan sikap egoisnya selalu membesar-besarkan masalah. Bahkan Arini sering mengulur-ulur waktu untuk bertemu dengan Randy dengan alasan sibuk dengan tugas sekolah. Sampai akhirnya Randy menemukan pacar yang lebih baik dari Arini. Arini masih ingat kata-kata yang diucapkan Randy ketika mau putus.
“Arin, sebenarnya aku sama dia udah jadian seminggu yang lalu sebelum Arin minta balikan lagi. Dia itu baik Rin, bukannya aku pengen ninggalin kamu Rin, aku masih sayang sama kamu Rin, tapi Mere baik sama aku Rin, dia dewasa dan shaleh, aku pengen punya pacar yang bisa nuntun aku masuk surga Rin, maafkan aku Rin!”
            Glek! Kata-kata itu dalam sekali dan menyadarkan Arini, betapa selama ini Arini selalu egois dan tidak peduli dengan Randy. Arini menangis dan meratapi perpisahannya dengan Randy, sudah terlambat untuk meminta untuk kembali dengan Randy, karena Randy sudah menjadi milik orang lain. Arini masih berharap suatu saat nanti bisa kembali bersama dengan Randy. Meski Arini sendiripun tidak tahu kapan itu.
            Arini masih merasa gelisah tidak menentu. Ibunya yang sedari tadi memperhatikan gelagat anaknya mulai bertanya. “Arin, kamu kenapa nak?”. Arini memeluk ibunya langsung dengan erat.”Arin tidak tau bu, rasanya akan terjadi sesuatu bu. Tapi Arin gag tau terjadi sama siapa?” Ibunya berusaha menenangkan Arini, mengusap-usap punggung Arini.
            Treeet Treeet Treeet Handphone Arini berbunyi, sebuah SMS dari Dechi. Pendek tapi spontan membuat Arini terpekik dan menangis. “Randy buuuuu” Arini memeluk erat ibunya dan menangis. “Kenapa dengan dia, Nak?” Arini tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Arini hanya menyodorkan handphonenya kepada ibunya. “Arin telpon Dechi aja, mungkin Dechi sedang bercanda.” Ibunya masih berusaha menghibur hati anaknya.
“Halo Arini”
“Ciii, benar Randy kecelakaan? Dimana?”
“Tadi Ade nelpon gue Rin,dia bilang Randy kecelakaan di Batusangkar, dia ditabrak sama mobil, sekarang dia ada di Rumah Sakit sana.”
“Ciii, gue pengen kesana Ciii, semoga dia baik-baik saja Ciii”
“Iya Rin, semoga dia baik-baik saja.”
            Entah kenapa, seperti ada yang disembunyikan Dechi. Arini yang mendengar berita kecelakaan Randy terus-terusan menangis. Ibunya jadi kebingungan sendiri menenangkan Arini. “Arin, besok kita kesana yaa, sekarang kamu tenang. Dia pasti baik-baik saja. Jangan terlalu mencemaskan dia.” Arini masih saja menangis seolah-olah tidak mendengarkan ibunya.
            Tiba-tiba saja Handphone ibu Arini berbunyi. Suara dari seberang sana terdengar agak panik. “Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun.” Ibu Arini hanya mengucapkan sebuah kalimat dan kemudian telepon itu ditutup oleh penelepon. “Arin, Randy sudah meninggal.” Arini berteriak histeris. Dia tidak percaya, tidak sanggup menerima kenyataan kalau Randy akan pergi untuk selama-lamanya. Tubuh Arini jatuh ke lantai. Arini pingsan.

Followers