Suara dari seberang sana terdengar parau. Suara nyanyian sebuah
lagu ditambah dengan suara gitar yang dipetik secara semrawut menambah kacau.
Aku berusaha tenang untuk mendengarkan, meskipun di dalam hatiku berkata “Aku
benci lagu ini”. Bukan hanya karena
kekacauan bunyi saja, suasana hati juga membuat aku tidak betah lagi
mendengarkan lagunya. Mungkin karena aku
masih bersikap seperti tidak ada masalah, dia seperti tidak ada beban.
Aku berniat
mematikan teleponku dan menyudut di kamar indahku. Menggalau sepanjang hari,
kemudian setiap menit update status di Facebook atau ngetwit di Twitter. Namun,
semua niat kukurung dan kukunci dengan gembok modern, yang mana orang tidak
akan bisa membukanya. Karena hanya akulah yang bisa membukanya dengan
Passwordku. #Coquettish
Dia masih saja
melantunkan lagunya tanpa mengerti kalau aku sedang tidak ingin mendengarnya. Dan sesekali menanyakan kepadaku, “Mau lagu
apa lagi, sayang?”. Aku hanya menjawab sepatah kata saja, “Terserah”. Mungkin karena
kurang respon atau mungkin karena terlalu pengertian atau mungkin karena selalu
berpikiran positif dia berlalu saja menyanyikan lagu. Aku benar-benar muak.
Bukan level satu lagi tapi sudah level lima. Sudah tidak tertahankan lagi. “Arin
mau tidur”, ucapku singkat dan kemudian mematikan telepon.
Dia berusaha
menghubungiku lagi. Berkali-kali, hingga akhirnya aku menon-aktifkan
Handphoneku. Dan kemudian tidur. Sebelum tidur aku menyempatkan diri menulis
sebuah status, “Tunggu aku di surga”. Tiba-tiba saja aku teringat mantanku yang
sudah meninggal dan membuatku bertambah galau. Galau stadium akhir. Hingga aku
tertidur sambil memimpikan kedatangannya. Aku menangis, menangis karena dia
datang dan aku tidak bisa menyambutnya dengan senyum, malah dengan tangisan.
Suara Ibu
membangunkanku dari mimpiku. Aku menyentuh mataku, berlinang air mata. Ternyata
aku menangis. Dengan tergesa-gesa aku menuju meja riasku dan menatap wajahku.
Aku benar-benar menangis. Aku menghapus air mataku dan kembali ke tempat tidur.
Aku teringat semalam aku mematikan Handphoneku, mungkin dia sudah tidak akan
menghubungiku lagi. Aku mengaktifkan kembali Handphoneku. Baru saja aktif,
sebuah panggilan dari nomornya menghubungiku lagi. Aku mendadak bete lagi dan
membiarkan panggilan itu.
Dia masih saja
berusaha menghubungiku, sepertinya tidak putus asa. Meskipun aku tidak
mengindahkannya sama sekali. Aku berlalu begitu saja. Aku meninggalkan
Handphoneku dan berkutat di depan Laptop dengan status galauku. “Tangisan
membawamu kembali”. Status yang baru saja aku update. Dan berhujam komen dari
teman-temanku. Mereka sepertinya paham aku adalah galauer sejati.
Mataku perih,
pandanganku sedikit kabur. Sepertinya bercengkrama di depan Laptop tidak baik
untukku, aku melupakan hidupku dan bergelut dengan dunia Antah Berantah. Bahkan
membuatku lupa kalau aku sudah menghabiskan beberapa kantong plastik cemilan.
Baru aku sadari, aku seperti Sapi yang selalu makan, dan hidup untuk makan. Aku
lupa aku melanggar peraturan ibu lagi untuk tidak makan cemilan lebih dari
sekantong dalam sehari. Dengan terburu-buru aku mengemasi semua kantong plastik
dan membuangnya ke belakang rumah. Takutnya kalau aku membuangnya di tong
sampah, ibu akan tau dan memarahiku.
Aku menutup
laptopku dan kembali ke kamar. Aku melihat sudah 57 panggilan tak terjawab dan
15 pesan dari dia. Isi pesannya sama,”Angkat dunk Arin, kenapa begini? Aku
salah apa? Ceritalah.” Belum sempat membaca semuanya, sebuah panggilan datang
lagi, aku langsung menghempaskan Handphoneku ke kasur dan keluar kamar. Aku
mengomel sendiri, “Huuuh bikin orang tambah bete aja deh, aaaaargh”. Aku
benar-benar marah dan jengkel. Aku ingin dia berhenti menghubungiku.
Aku menghempaskan
tubuhku ke sofa, tengkukku terasa sakit, dadaku berdebar-debar, rasa mual
menggerogoti perutku. Pandanganku kabur. Aku memejamkan mataku, kepalaku
semakin sakit dan pandanganku masih saja kabur. Rasa mualku meakin menjadi-jadi.
Aku memejamkan mataku lama dan berusaha untuk tidur. Namun tidak berhasil. Aku
tidak tertidur, perutku masih terasa mual dan kepalaku masih terasa sakit. Aku
memanggil ibu, namun ibu tidak menyahut, karena sepertinya ibu tidak dirumah.
Aku tertidur.
Aku terbangun lagi ketika ayah pulang kerja. “Aduh,
masih tidur aja Arin?”. Ayah mencubit pipiku. Aku mengerang, “Ayaaaaah, tadi
kepala Arin sakit lagi, pengen muntah, pandangan Arin juga kabur, sekarang aja
yang udah gag kabur lagi”. Wajah ayah berubah menjadi panik. “Arin, kita ke
puskesmas sekarang Arin.” Aku menolak dengan alasan aku sudah baikan. Tapi ayah
memaksaku dan akhirnya aku menurut.
Seorang bidan
Puskesmas langgananku memeriksaku, menekankan stetoskop ke dadaku, perutku, dan
kemudian memeriksa darahku. Entah bagaimana dia membaca alatnya, hingga dia
bisa mengatakan tekanan darahku naik lagi. Dan ini lebih parah dari biasanya.
Dia mengatakan, “Tekanan darah seperti ini biasanya diderita oleh orang tua.”.
Nyaris saja aku hampir menampar bidan itu karena emosiku meningkat karena di
umurku yang masih muda, dia mengatakanku tua. Untung saja aku masih bisa
sedikit mengendalikan diri. Tapi semua itu membuat dadaku berdebar hebat.
Mungkin efek Hipertensi.
Aku disuruh meminum
air perasan labu siam yang rasanya anyir-anyir aneh. Kalau saja tidak dipaksa dan
diancam ibu, aku mungkin sudah menumpahkan air itu ke kamar mandi, saking tidak
suka minum obat, sekalipun itu obat alami. Ibu kemudian menyuruhku tidur lagi.
Mungkin ibu takut, aku marah-marah kalau masih saja dibiarkan tidak istirahat. Aku
menurut saja, aku berusaha meredam emosiku yang sedang bergejolak. Namun Handphoneku
membuatku semakin bete lagi. Masih seperti tadi. 75 panggilan tak terjawab. Aku
mematikan Handphoneku lagi. Dan berniat tidak mengaktifkannya lagi selama aku
masih bete dengannya.
Baru kali ini aku
marah tanpa alasan yang jelas kepadanya, padahal biasanya aku tidak pernah
marah sekalipun kepadanya. Setiap masalah pasti dirembukkan berdua. Aku juga
tidak mengerti mengapa mendadak aku marah dan bete kepadanya. Mungkin karena
efek penyakitku, atau mungkin karena aku sudah mulai bosan. Aku teringat lagi
wajah mantanku. Dan saat-saat dia memutuskanku karena menemukan sosok wanita
yang lebih baik dariku. Hancur, air mataku menetes lagi. Aku memejamkan mataku
dan berharap bisa melupakannya.
Terasa seperti
gempa, tubuhku digoyah-goyahkan. Aku terbangun dan Ibu menyuruhku bangun dan
mencuci muka. “Arin, ada yang datang mau ketemu Arin”, kata ibu sambil
menuntunku bangun. “Siapa Bu?”, tanyaku penasaran. “Arin cuci muka dulu, nanti
liat saja di beranda”, jawab ibu. Tampaknya ibu merahasiakan sekali siapa yang
datang.
Aku berjalan menuju
beranda, aku penasaran siapa yang datang ke rumah dan menemuiku. Padahal
daridulu aku paling tidak suka membawa ataupun mengizinkan temanku datang ke
rumah. Aku melihat sesosok lelaki berbaju kaus putih mengenakan jeans hitam.
Dia berbalik dan menyapaku, “Arin, baru bangun!”. Aku kaget, semuanya serasa
mimpi, aku tidak percaya. Randy datang dengan memakai baju putih yang dia
kenakan sebelum dia benar-benar pergi untuk selamanya. Aku menangis dan
langsung memeluknya. “Randiiiiiiiiiiiiiiiiiii.” “Arin, aku bukan Randy, aku
Romie”, bisiknya di telingaku. Aku langsung melepaskan pelukannya dan menatap
wajahnya dan berharap itu bukan Romie. Namun benar, itu Romie.
“Kata ibu, Arin sakit
lagi?” tanya Romie padaku.
“Enggak kok, Arin baik-baik aja.” Jawabku singkat
“Wajah Arin aja pucat tuu, jelek jadinya”, Romie berusaha menggodaku.
“Biarin”, aku mulai kesal
“Arin, tau nggak aku ada sesuatu lo buat Arin, Arin pasti suka”, Romie berusaha menyogokku.
“Apa?”, jawabku ketus.
“Taraaa, Surpriseeee!!”
“Enggak kok, Arin baik-baik aja.” Jawabku singkat
“Wajah Arin aja pucat tuu, jelek jadinya”, Romie berusaha menggodaku.
“Biarin”, aku mulai kesal
“Arin, tau nggak aku ada sesuatu lo buat Arin, Arin pasti suka”, Romie berusaha menyogokku.
“Apa?”, jawabku ketus.
“Taraaa, Surpriseeee!!”
Romie membawakanku
sebuah boneka besar lucu berwarna Pink, Romie memang paling bisa membujukku.
Akhirnya aku lupa kemarahanku pada Romie, dan kembali senyum bahagia. Aku dan
Romie ngobrol dan bercerita-cerita hingga Romie bercerita tentang
mantanku.Romie bercerita kalau dialah yang mengenalkan Randy dengan cewek yang
dibilang Randy wanita yang dia cari. Mendadak aku marah lagi, namun aku
berusaha menahan kemarahanku dan terus mendengarkannya bercerita. Perutku
terasa mual dan kepalaku sakit lagi. Tetapi aku berusaha tidak menampakkannya
di depan Romie.Tapi tidak berlangsung lama aku terjatuh dan pingsan.
Ketika terbangun
aku sudah ada di ruangan bercat serba putih, tanganku terpasang infus dan
disamping tempat tidurku ada ibu yang menungguiku. “Ibu, Arin dimana? Arin
mimpi kan bu? Arin tidak di rumah sakit kan bu?”Aku merengek supaya ibu
mengatakan tidak di rumahsakit. “Di rumah sakit, Nak”, Ibu menjawab pelan. Aku
semakin stress melihat rumah sakit. “Ibu, kita pulang, Arin nggak mau disini,
Arin mau pulang ibuuu.” Aku terus memaksa ibu membawaku pulang. Pada awalnya
ibu masih tetap dengan pendiriannya. Tetapi setelah dokter datang dan
mengizinkanku pulang akhirnya ibu dan ayah membawaku pulang.
Sejak saat itu aku
hanya tidur di rumah dan setiap hari Romie datang meminta maaf dan membujukku. Namun
aku hanya diam dan tidak menanggapinya sedikitpun. Dia tidak putus asa, semua
cara dilakukannya untuk membujukku agar aku mau memaafkannya. Namun aku tetap
saja diam. Aku bukan diam karena tidak memaafkannya. Tetapi karena aku tidak
bisa lagi berucap sepatah kata pun lagi. Aku tergolek lemah tak berdaya seperti
mayat hidup. Aku mendengar, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya mengeluarkan
air mata yang bisa kulakukan. Keadaanku yang semakin memburuk tidak
mengurungkan niat Romie untuk terus mengunjungiku. Bahkan aku yang putus asa
dan ingin mati menerima kenyataan hidupku.
No comments:
Post a Comment