Friday, 9 March 2012

Tunggu Aku di Surga


Suara dari seberang sana terdengar parau. Suara nyanyian sebuah lagu ditambah dengan suara gitar yang dipetik secara semrawut menambah kacau. Aku berusaha tenang untuk mendengarkan, meskipun di dalam hatiku berkata “Aku benci lagu ini”.  Bukan hanya karena kekacauan bunyi saja, suasana hati juga membuat aku tidak betah lagi mendengarkan lagunya.  Mungkin karena aku masih bersikap seperti tidak ada masalah, dia seperti tidak ada beban.
        Aku berniat mematikan teleponku dan menyudut di kamar indahku. Menggalau sepanjang hari, kemudian setiap menit update status di Facebook atau ngetwit di Twitter. Namun, semua niat kukurung dan kukunci dengan gembok modern, yang mana orang tidak akan bisa membukanya. Karena hanya akulah yang bisa membukanya dengan Passwordku. #Coquettish
        Dia masih saja melantunkan lagunya tanpa mengerti kalau aku sedang tidak ingin mendengarnya.  Dan sesekali menanyakan kepadaku, “Mau lagu apa lagi, sayang?”. Aku hanya menjawab sepatah kata saja, “Terserah”. Mungkin karena kurang respon atau mungkin karena terlalu pengertian atau mungkin karena selalu berpikiran positif dia berlalu saja menyanyikan lagu. Aku benar-benar muak. Bukan level satu lagi tapi sudah level lima. Sudah tidak tertahankan lagi. “Arin mau tidur”, ucapku singkat dan kemudian mematikan telepon.
        Dia berusaha menghubungiku lagi. Berkali-kali, hingga akhirnya aku menon-aktifkan Handphoneku. Dan kemudian tidur. Sebelum tidur aku menyempatkan diri menulis sebuah status, “Tunggu aku di surga”. Tiba-tiba saja aku teringat mantanku yang sudah meninggal dan membuatku bertambah galau. Galau stadium akhir. Hingga aku tertidur sambil memimpikan kedatangannya. Aku menangis, menangis karena dia datang dan aku tidak bisa menyambutnya dengan senyum, malah dengan tangisan.
        Suara Ibu membangunkanku dari mimpiku. Aku menyentuh mataku, berlinang air mata. Ternyata aku menangis. Dengan tergesa-gesa aku menuju meja riasku dan menatap wajahku. Aku benar-benar menangis. Aku menghapus air mataku dan kembali ke tempat tidur. Aku teringat semalam aku mematikan Handphoneku, mungkin dia sudah tidak akan menghubungiku lagi. Aku mengaktifkan kembali Handphoneku. Baru saja aktif, sebuah panggilan dari nomornya menghubungiku lagi. Aku mendadak bete lagi dan membiarkan panggilan itu.
        Dia masih saja berusaha menghubungiku, sepertinya tidak putus asa. Meskipun aku tidak mengindahkannya sama sekali. Aku berlalu begitu saja. Aku meninggalkan Handphoneku dan berkutat di depan Laptop dengan status galauku. “Tangisan membawamu kembali”. Status yang baru saja aku update. Dan berhujam komen dari teman-temanku. Mereka sepertinya paham aku adalah galauer sejati.
        Mataku perih, pandanganku sedikit kabur. Sepertinya bercengkrama di depan Laptop tidak baik untukku, aku melupakan hidupku dan bergelut dengan dunia Antah Berantah. Bahkan membuatku lupa kalau aku sudah menghabiskan beberapa kantong plastik cemilan. Baru aku sadari, aku seperti Sapi yang selalu makan, dan hidup untuk makan. Aku lupa aku melanggar peraturan ibu lagi untuk tidak makan cemilan lebih dari sekantong dalam sehari. Dengan terburu-buru aku mengemasi semua kantong plastik dan membuangnya ke belakang rumah. Takutnya kalau aku membuangnya di tong sampah, ibu akan tau dan memarahiku.
        Aku menutup laptopku dan kembali ke kamar. Aku melihat sudah 57 panggilan tak terjawab dan 15 pesan dari dia. Isi pesannya sama,”Angkat dunk Arin, kenapa begini? Aku salah apa? Ceritalah.” Belum sempat membaca semuanya, sebuah panggilan datang lagi, aku langsung menghempaskan Handphoneku ke kasur dan keluar kamar. Aku mengomel sendiri, “Huuuh bikin orang tambah bete aja deh, aaaaargh”.  Aku  benar-benar marah dan jengkel. Aku ingin dia berhenti menghubungiku.
        Aku menghempaskan tubuhku ke sofa, tengkukku terasa sakit, dadaku berdebar-debar, rasa mual menggerogoti perutku. Pandanganku kabur. Aku memejamkan mataku, kepalaku semakin sakit dan pandanganku masih saja kabur. Rasa mualku meakin menjadi-jadi. Aku memejamkan mataku lama dan berusaha untuk tidur. Namun tidak berhasil. Aku tidak tertidur, perutku masih terasa mual dan kepalaku masih terasa sakit. Aku memanggil ibu, namun ibu tidak menyahut, karena sepertinya ibu tidak dirumah. Aku tertidur.
        Aku  terbangun lagi ketika ayah pulang kerja. “Aduh, masih tidur aja Arin?”. Ayah mencubit pipiku. Aku mengerang, “Ayaaaaah, tadi kepala Arin sakit lagi, pengen muntah, pandangan Arin juga kabur, sekarang aja yang udah gag kabur lagi”. Wajah ayah berubah menjadi panik. “Arin, kita ke puskesmas sekarang Arin.” Aku menolak dengan alasan aku sudah baikan. Tapi ayah memaksaku dan akhirnya aku menurut.
        Seorang bidan Puskesmas langgananku memeriksaku, menekankan stetoskop ke dadaku, perutku, dan kemudian memeriksa darahku. Entah bagaimana dia membaca alatnya, hingga dia bisa mengatakan tekanan darahku naik lagi. Dan ini lebih parah dari biasanya. Dia mengatakan, “Tekanan darah seperti ini biasanya diderita oleh orang tua.”. Nyaris saja aku hampir menampar bidan itu karena emosiku meningkat karena di umurku yang masih muda, dia mengatakanku tua. Untung saja aku masih bisa sedikit mengendalikan diri. Tapi semua itu membuat dadaku berdebar hebat. Mungkin efek Hipertensi.
        Aku disuruh meminum air perasan labu siam yang rasanya anyir-anyir aneh. Kalau saja tidak dipaksa dan diancam ibu, aku mungkin sudah menumpahkan air itu ke kamar mandi, saking tidak suka minum obat, sekalipun itu obat alami. Ibu kemudian menyuruhku tidur lagi. Mungkin ibu takut, aku marah-marah kalau masih saja dibiarkan tidak istirahat. Aku menurut saja, aku berusaha meredam emosiku yang sedang bergejolak. Namun Handphoneku membuatku semakin bete lagi. Masih seperti tadi. 75 panggilan tak terjawab. Aku mematikan Handphoneku lagi. Dan berniat tidak mengaktifkannya lagi selama aku masih bete dengannya.
        Baru kali ini aku marah tanpa alasan yang jelas kepadanya, padahal biasanya aku tidak pernah marah sekalipun kepadanya. Setiap masalah pasti dirembukkan berdua. Aku juga tidak mengerti mengapa mendadak aku marah dan bete kepadanya. Mungkin karena efek penyakitku, atau mungkin karena aku sudah mulai bosan. Aku teringat lagi wajah mantanku. Dan saat-saat dia memutuskanku karena menemukan sosok wanita yang lebih baik dariku. Hancur, air mataku menetes lagi. Aku memejamkan mataku dan berharap bisa melupakannya.
        Terasa seperti gempa, tubuhku digoyah-goyahkan. Aku terbangun dan Ibu menyuruhku bangun dan mencuci muka. “Arin, ada yang datang mau ketemu Arin”, kata ibu sambil menuntunku bangun. “Siapa Bu?”, tanyaku penasaran. “Arin cuci muka dulu, nanti liat saja di beranda”, jawab ibu. Tampaknya ibu merahasiakan sekali siapa yang datang.
        Aku berjalan menuju beranda, aku penasaran siapa yang datang ke rumah dan menemuiku. Padahal daridulu aku paling tidak suka membawa ataupun mengizinkan temanku datang ke rumah. Aku melihat sesosok lelaki berbaju kaus putih mengenakan jeans hitam. Dia berbalik dan menyapaku, “Arin, baru bangun!”. Aku kaget, semuanya serasa mimpi, aku tidak percaya. Randy datang dengan memakai baju putih yang dia kenakan sebelum dia benar-benar pergi untuk selamanya. Aku menangis dan langsung memeluknya. “Randiiiiiiiiiiiiiiiiiii.” “Arin, aku bukan Randy, aku Romie”, bisiknya di telingaku. Aku langsung melepaskan pelukannya dan menatap wajahnya dan berharap itu bukan Romie. Namun benar, itu Romie.
        “Kata ibu, Arin sakit lagi?” tanya Romie padaku.
        “Enggak kok, Arin baik-baik aja.” Jawabku singkat
        “Wajah Arin aja pucat tuu, jelek jadinya”, Romie berusaha menggodaku.
        “Biarin”, aku mulai kesal
        “Arin, tau nggak aku ada sesuatu lo buat Arin, Arin pasti suka”, Romie berusaha menyogokku.
        “Apa?”, jawabku ketus.
        “Taraaa, Surpriseeee!!”
        Romie membawakanku sebuah boneka besar lucu berwarna Pink, Romie memang paling bisa membujukku. Akhirnya aku lupa kemarahanku pada Romie, dan kembali senyum bahagia. Aku dan Romie ngobrol dan bercerita-cerita hingga Romie bercerita tentang mantanku.Romie bercerita kalau dialah yang mengenalkan Randy dengan cewek yang dibilang Randy wanita yang dia cari. Mendadak aku marah lagi, namun aku berusaha menahan kemarahanku dan terus mendengarkannya bercerita. Perutku terasa mual dan kepalaku sakit lagi. Tetapi aku berusaha tidak menampakkannya di depan Romie.Tapi tidak berlangsung lama aku terjatuh dan pingsan.
        Ketika terbangun aku sudah ada di ruangan bercat serba putih, tanganku terpasang infus dan disamping tempat tidurku ada ibu yang menungguiku. “Ibu, Arin dimana? Arin mimpi kan bu? Arin tidak di rumah sakit kan bu?”Aku merengek supaya ibu mengatakan tidak di rumahsakit. “Di rumah sakit, Nak”, Ibu menjawab pelan. Aku semakin stress melihat rumah sakit. “Ibu, kita pulang, Arin nggak mau disini, Arin mau pulang ibuuu.” Aku terus memaksa ibu membawaku pulang. Pada awalnya ibu masih tetap dengan pendiriannya. Tetapi setelah dokter datang dan mengizinkanku pulang akhirnya ibu dan ayah membawaku pulang.
        Sejak saat itu aku hanya tidur di rumah dan setiap hari Romie datang meminta maaf dan membujukku. Namun aku hanya diam dan tidak menanggapinya sedikitpun. Dia tidak putus asa, semua cara dilakukannya untuk membujukku agar aku mau memaafkannya. Namun aku tetap saja diam. Aku bukan diam karena tidak memaafkannya. Tetapi karena aku tidak bisa lagi berucap sepatah kata pun lagi. Aku tergolek lemah tak berdaya seperti mayat hidup. Aku mendengar, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya mengeluarkan air mata yang bisa kulakukan. Keadaanku yang semakin memburuk tidak mengurungkan niat Romie untuk terus mengunjungiku. Bahkan aku yang putus asa dan ingin mati menerima kenyataan hidupku.

Followers